Mahasiswaku, khususnya peserta perkuliahan Kajian Prosa Fiksi,
Bacalah
cerpen di bawah ini sebagai dasar untuk menjawab soal UAS yang
insya-Allah akan Ibu tayangkan besok pagi di Rumah Kedua Kita ini. Bersiaplah!
Salawat Dedaunan*)
Masjid itu
hanyalah sebuah bangunan kecil saja. Namun, jika kau memperhatikan, kau akan
segera tahu usia bangunan itu sudah sangat tua. Temboknya tebal, jendelanya tak
berdaun —hanya lubang segi empat dengan lengkungan di bagian atasnya. Begitu
juga pintunya, tak berdaun pintu. Lantainya menggunakan keramik putih— kuduga
itu baru kemudian dipasang, karena modelnya masih bisa dijumpai di toko-toko
material.
Masjid itu
kecil saja, mungkin hanya bisa menampung sekitar 50 orang berjemaah.
Namun, halaman
masjid itu cukup luas. Di hadapan bangunan masjid itu tumbuh pohon trembesi
yang cukup besar. Mungkin saja usianya sudah ratusan tahun. Mungkin saja si
pembangun masjid ini dulunya berangan-angan betapa sejuknya masjid ini di siang
hari karena dinaungi pohon trembesi. Mungkin saja begitu.
Begitu
besarnya pohon trembesi itu, dengan dahan dan cabangnya yang menjulur ke segala
arah, membentuk semacam payung, membuat kita pun akan berpikir, masjid ini
memang dipayungi trembesi. Cantik sekali. Namun,
masjid ini sepi. Terutama jika siang hari. Subuh ada lima orang berjemaah, itu
pun pengurus semua. Maghrib, masih lumayan, bisa mencapai dua saf. Isya… hanya
paling banyak lima orang. Begitu setiap hari, entah sejak kapan dan akan sampai
kapan hal itu berlangsung.
Bagi Haji
Brahim, keadaan itu merisaukannya. Sejak, mungkin, 30 tahun lalu dia dipercaya
untuk menjadi ketua masjid, keadaan tidak berubah. Bahkan, setiap Jumat, jumlah
jemaah, paling banyak 45 orang. Pernah terpikirkan untuk memperluas bangunan,
tetapi dana tak pernah cukup. Mencari sumbangan tidak mudah, dan Haji Brahim
tak mengizinkan pengurus mencari sumbangan di jalan raya —sebagaimana dilakukan
banyak orang__. ”Seperti pengemis saja…,” gumamnya. Seiring dengan berjalannya
waktu, maka pikiran untuk memperluas bangunan itu tinggal sebagai impian saja.
Kas masjid nyaris berdebu karena kosong melompong. Dan itu pula sebabnya masjid
itu tak bisa memasang listrik, cukup dengan lampu minyak.
Daun-daun
trembesi berguguran setiap hari, seperti taburan bunga para peziarah makam.
Buah-buahnya yang tua berserakan di halaman. Satu-dua anak memungutnya,
mengeluarkan biji-bijinya yang lebih kecil daripada kedelai itu, menjemurnya,
menyangrai, dan menjadikannya camilan gurih di sore hari. Jelas tak ada orang
yang secara khusus menyapu halaman setiap hari.
Terlalu luas
untuk sebuah pekerjaan gratisan. Semua maklum, termasuk Haji Brahim.
***
Suatu siang,
seusai shalat Jumat, ketika orang-orang sudah lenyap semua entah ke mana, Haji
Brahim dan dua pengurus lainnya masih duduk bersila di lantai masjid. Haji
Brahim masih berzikir sementara dua orang itu tengah menghitung uang amal yang
masuk hari itu.
”Tiga puluh
ribu, Pak,” ucap salah seorang seperti protes pada entah apa.
”Alhamdulilah.”
”Dengan yang
minggu lalu, jumlahnya 75.000. Belum cukup untuk beli cat tembok.”
”Ya, sudah…
nanti kan cukup,” ujar Haji Brahim tenang.
Sesaat
ketika kedua orang itu akan berdiri, di halaman dilihatnya ada seorang nenek
tua tengah menyapu pandang. Haji Brahim pun menoleh dan dilihatnya nenek itu
dengan badan bungkuk, tertatih mendekat.
”Alaikum
salam… nek,” jawab salah seorang pengurus, sambil mengangsurkan uang 500-an.
Tapi si
nenek diam saja. Memandangi si pemberi uang dengan pandangannya yang tua.
”Ada apa?”
tanya Haji Brahim, seraya mendekat.
”Saya tidak
perlu uang. Saya perlu jalan ampunan.”
Sesaat
ketiga pengurus masjid itu terdiam. Angin bertiup merontokkan dedaunan
trembesi. Satu dua buahnya gemelatak di atap.
”Silakan
nenek ambil wudu dan shalat,” ujar Haji Brahim sambil tersenyum.
Nenek itu
diam beberapa saat. Tanpa berkata apa pun, dia kemudian memungut daun yang
tergeletak di halaman. Daun itu dipungutnya dengan kesungguhan, lalu
dimasukkannya ke kantong plastik lusuh, yang tadi dilipat dan diselipkan di
setagen yang melilit pinggangnya. Setelah memasukkan daun itu ke kantong
plastik, tangannya kembali memungut daun berikutnya. Dan berikutnya. Dan
berikutnya….
Ketiga orang
itu ternganga. Sesaat kemudian, karena melihat betapa susah payahnya si nenek
melakukan pekerjaan sederhana itu, salah seorang kemudian mendekat dan membujuk
agar si nenek berhenti. Tapi si nenek tetap saja memunguti daun-daun yang
berserakan, nyaris menimbun permukaan halaman itu.
Haji Brahim
dan seorang pengurus kemudian ikut turun dan mengambil sapu lidi.
”Jangan…
jangan pakai sapu lidi… dan biarkan saya sendiri melakukan ini.”
”Tapi nanti
nenek lelah.”
”Adakah yang
lebih melelahkan daripada menanggung dosa?” ujar si nenek seperti bergumam.
Haji Brahim
tercekat. Ada sesuatu yang menyelinap di sanubarinya.
Dilihatnya
si nenek kembali memungut dan memungut daun-daun itu helai demi helai. Dan,
demi mendengar apa yang tergumam dari bibir tua itu, Haji Brahim menangis.
Dari
bibirnya tergumam kalimat permintaan ampun dan sanjungan kepada Kanjeng Nabi
Muhammad. Pada setiap helai yang dipungut dan ditatapnya sesaat dia
menggumamkan ”Gusti, mugi paringa aksama. Paringa kanugrahan dateng Kanjeng
Nabi.” Sebelum dimasukkannya ke kantong plastik.
Haji Brahim
tergetar oleh kepolosan dan keluguan si nenek. Di matanya, si nenek seperti
ingin bersaksi di hadapan ribuan dedaunan bahwa dirinya sedang mencari jalan
pengampunan.
***
Hari
bergulir ke Magrib. Dan si nenek masih saja di tempat semula, nyaris tak
beranjak, memunguti dedaunan yang selalu saja berguguran di halaman. Tubuh
tuanya yang kusut basah oleh keringat. Napasnya terengah-engah. Ketiga orang
itu tak bisa berbuat lain, kecuali menjaganya. Ketika maghrib tiba, dan
orang-orang melakukan sembahyang, si nenek masih saja memunguti dedaunan.
”Siapa dia?”
bisik salah seorang jemaah kepada temannya, ketika mereka meninggalkan masjid.
Tentu saja tak ada jawaban, selain ”entah”.
”Nek,
istirahatlah… ini sudah malam.”
”Kalau bapak
mau pulang, silakan saja… biarkan saya di sini dan melakukan ini semua.”
”Nek,
mengapa nenek menyiksa diri seperti ini?”
”Tidak. Saya
tidak menyiksa diri. Ini… mungkin bahkan belum cukup untuk sebuah ampunan,”
ucapnya sambil menghapus air matanya.
Haji Brahim
terdiam. Mencoba mereka-reka apa yang telah diperbuat si nenek di masa lalunya.
***
Malam itu,
Haji Brahim pulang cukup larut karena merasa tak tega meninggalkan si nenek.
Pengurus masjid yang semula akan menunggui, sepulang Haji Brahim, ternyata juga
tak tahan. Bahkan, belum lagi lima menit Haji Brahim pergi, dia diam-diam
pulang.
Tak ada yang
tahu apakah si nenek tertidur atau terjaga malam itu. Begitu subuh tiba, Mijo
yang akan azan Subuh mendapati si nenek masih saja melakukan gerakan yang sama.
Udara begitu dingin. Beberapa kali si nenek terbatuk.
***
Peristiwa si
nenek itu ternyata mengundang perhatian banyak orang. Mereka berdatangan ke
masjid. Niat mereka mungkin ingin menyaksikan si nenek, tetapi begitu
bertepatan waktu shalat masuk, mereka melakukan shalat berjemaah. Tanpa mereka
sadari sepenuhnya, masjid itu jadi semarak. Orang datang berduyun-duyun,
membawa makanan untuk si nenek, atau sekadar memberinya minum. Dan, semuanya
selalu berjemaah di masjid.
Dua hari
kemudian, tepat ketika kumandang waktu Ashar terdengar, si nenek tersungkur dan
meninggal. Orang-orang terpekik, ada yang mencoba membawanya ke puskesmas,
tetapi entah mengapa tak jadi.
Hari itu
juga polisi datang. Karena semua orang tak tahu siapa keluarga si nenek,
akhirnya diputuskan si nenek dimakamkan di halaman belakang masjid.
Ketika semua
orang sibuk, Haji Brahim tercekat. Dia tiba-tiba merasa sunyi menyergapnya. Dia
menyapu pandang, ada yang aneh di matanya. Dedaunan yang berserak itu lenyap.
Halaman masjid bersih. Menghitam subur tanahnya, seperti disapu, dan daun yang
gugur ditahan oleh jaring raksasa hingga tak mencapai tanah.
Sudut mata
Haji Brahim membasah. ”Semoga kau temukan jalanmu, nek,” gumamnya.
Dan ketika
semua orang, yang puluhan jumlahnya itu, secara bersamaan menemukan apa yang
dipandang Haji Brahim, mereka ternganga. Bagaimana mungkin halaman masjid bisa
sebersih seperti itu.
***
Lama setelah
kisah itu sampai kepadaku, aku tercenung. Rupanya, menurut Haji Brahim
kepadaku, nenek itu hadir mungkin sebagai contoh. ”Mungkin juga dia memang
berdosa besar—sesuai pengakuannya kepada saya,” ucap Haji Brahim kepadaku
beberapa waktu lalu. ”Dan… dia melakukan semacam istigfar dengan mengumpulkan
sebanyak mungkin daun yang ada di halaman, mungkin begitu… saya tak yakin. Yang
jelas, mata kami jadi terbuka. Sekarang masjid kami cukup ramai.”
”Pasti
banyak yang mau menyapu halaman,” godaku.
”Iya…
ha-ha-ha… benar.”
”Memangnya
bisa begitu, Ji?”
”Maksudnya,
ampunan Allah? Ya, saya yakin bisa saja. Allah maha-berkehendak, apa pun jika
Dia berkenan, masak tidak dikabulkan?” ucap Haji Brahim tenang.
Aku terdiam.
Kubayangkan dedaunan itu, yang jumlahnya mungkin ribuan helai itu, melayang ke
hadirat Allah, membawa goresan permohonan ampun.
***
Pembaca yang budiman,
Setelah Anda membaca cerpen itu, isilah kolom komentar dengan kesan dan pesan Anda terhadap tema yang dikedepankan pengarang melalui cerpen tersebut.Selamat, semoga bermanfaat.
_____
*) http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/10/02/salawat-dedaunan/