Minggu, 16 September 2012

PRA-UAS: Mari bergelut dengan naskah


Mahasiswaku, khususnya peserta perkuliahan Kajian Prosa Fiksi,


Bacalah cerpen di bawah ini sebagai dasar untuk menjawab soal UAS yang insya-Allah akan Ibu tayangkan besok pagi di Rumah Kedua Kita ini. Bersiaplah!

Salawat Dedaunan*)

Masjid itu hanyalah sebuah bangunan kecil saja. Namun, jika kau memperhatikan, kau akan segera tahu usia bangunan itu sudah sangat tua. Temboknya tebal, jendelanya tak berdaun —hanya lubang segi empat dengan lengkungan di bagian atasnya. Begitu juga pintunya, tak berdaun pintu. Lantainya menggunakan keramik putih— kuduga itu baru kemudian dipasang, karena modelnya masih bisa dijumpai di toko-toko material.

Masjid itu kecil saja, mungkin hanya bisa menampung sekitar 50 orang berjemaah.
Namun, halaman masjid itu cukup luas. Di hadapan bangunan masjid itu tumbuh pohon trembesi yang cukup besar. Mungkin saja usianya sudah ratusan tahun. Mungkin saja si pembangun masjid ini dulunya berangan-angan betapa sejuknya masjid ini di siang hari karena dinaungi pohon trembesi. Mungkin saja begitu.

Begitu besarnya pohon trembesi itu, dengan dahan dan cabangnya yang menjulur ke segala arah, membentuk semacam payung, membuat kita pun akan berpikir, masjid ini memang dipayungi trembesi. Cantik sekali. Namun, masjid ini sepi. Terutama jika siang hari. Subuh ada lima orang berjemaah, itu pun pengurus semua. Maghrib, masih lumayan, bisa mencapai dua saf. Isya… hanya paling banyak lima orang. Begitu setiap hari, entah sejak kapan dan akan sampai kapan hal itu berlangsung.

Bagi Haji Brahim, keadaan itu merisaukannya. Sejak, mungkin, 30 tahun lalu dia dipercaya untuk menjadi ketua masjid, keadaan tidak berubah. Bahkan, setiap Jumat, jumlah jemaah, paling banyak 45 orang. Pernah terpikirkan untuk memperluas bangunan, tetapi dana tak pernah cukup. Mencari sumbangan tidak mudah, dan Haji Brahim tak mengizinkan pengurus mencari sumbangan di jalan raya —sebagaimana dilakukan banyak orang__. ”Seperti pengemis saja…,” gumamnya. Seiring dengan berjalannya waktu, maka pikiran untuk memperluas bangunan itu tinggal sebagai impian saja. Kas masjid nyaris berdebu karena kosong melompong. Dan itu pula sebabnya masjid itu tak bisa memasang listrik, cukup dengan lampu minyak.

Daun-daun trembesi berguguran setiap hari, seperti taburan bunga para peziarah makam. Buah-buahnya yang tua berserakan di halaman. Satu-dua anak memungutnya, mengeluarkan biji-bijinya yang lebih kecil daripada kedelai itu, menjemurnya, menyangrai, dan menjadikannya camilan gurih di sore hari. Jelas tak ada orang yang secara khusus menyapu halaman setiap hari.
Terlalu luas untuk sebuah pekerjaan gratisan. Semua maklum, termasuk Haji Brahim.
***
Suatu siang, seusai shalat Jumat, ketika orang-orang sudah lenyap semua entah ke mana, Haji Brahim dan dua pengurus lainnya masih duduk bersila di lantai masjid. Haji Brahim masih berzikir sementara dua orang itu tengah menghitung uang amal yang masuk hari itu.
”Tiga puluh ribu, Pak,” ucap salah seorang seperti protes pada entah apa.
”Alhamdulilah.”
”Dengan yang minggu lalu, jumlahnya 75.000. Belum cukup untuk beli cat tembok.”
”Ya, sudah… nanti kan cukup,” ujar Haji Brahim tenang.
Sesaat ketika kedua orang itu akan berdiri, di halaman dilihatnya ada seorang nenek tua tengah menyapu pandang. Haji Brahim pun menoleh dan dilihatnya nenek itu dengan badan bungkuk, tertatih mendekat.
”Alaikum salam… nek,” jawab salah seorang pengurus, sambil mengangsurkan uang 500-an.
Tapi si nenek diam saja. Memandangi si pemberi uang dengan pandangannya yang tua.
”Ada apa?” tanya Haji Brahim, seraya mendekat.
”Saya tidak perlu uang. Saya perlu jalan ampunan.”
Sesaat ketiga pengurus masjid itu terdiam. Angin bertiup merontokkan dedaunan trembesi. Satu dua buahnya gemelatak di atap.
”Silakan nenek ambil wudu dan shalat,” ujar Haji Brahim sambil tersenyum.
Nenek itu diam beberapa saat. Tanpa berkata apa pun, dia kemudian memungut daun yang tergeletak di halaman. Daun itu dipungutnya dengan kesungguhan, lalu dimasukkannya ke kantong plastik lusuh, yang tadi dilipat dan diselipkan di setagen yang melilit pinggangnya. Setelah memasukkan daun itu ke kantong plastik, tangannya kembali memungut daun berikutnya. Dan berikutnya. Dan berikutnya….

Ketiga orang itu ternganga. Sesaat kemudian, karena melihat betapa susah payahnya si nenek melakukan pekerjaan sederhana itu, salah seorang kemudian mendekat dan membujuk agar si nenek berhenti. Tapi si nenek tetap saja memunguti daun-daun yang berserakan, nyaris menimbun permukaan halaman itu.
Haji Brahim dan seorang pengurus kemudian ikut turun dan mengambil sapu lidi.
”Jangan… jangan pakai sapu lidi… dan biarkan saya sendiri melakukan ini.”
”Tapi nanti nenek lelah.”

”Adakah yang lebih melelahkan daripada menanggung dosa?” ujar si nenek seperti bergumam.
Haji Brahim tercekat. Ada sesuatu yang menyelinap di sanubarinya.
Dilihatnya si nenek kembali memungut dan memungut daun-daun itu helai demi helai. Dan, demi mendengar apa yang tergumam dari bibir tua itu, Haji Brahim menangis.
Dari bibirnya tergumam kalimat permintaan ampun dan sanjungan kepada Kanjeng Nabi Muhammad. Pada setiap helai yang dipungut dan ditatapnya sesaat dia menggumamkan ”Gusti, mugi paringa aksama. Paringa kanugrahan dateng Kanjeng Nabi.” Sebelum dimasukkannya ke kantong plastik.
Haji Brahim tergetar oleh kepolosan dan keluguan si nenek. Di matanya, si nenek seperti ingin bersaksi di hadapan ribuan dedaunan bahwa dirinya sedang mencari jalan pengampunan.
***

Hari bergulir ke Magrib. Dan si nenek masih saja di tempat semula, nyaris tak beranjak, memunguti dedaunan yang selalu saja berguguran di halaman. Tubuh tuanya yang kusut basah oleh keringat. Napasnya terengah-engah. Ketiga orang itu tak bisa berbuat lain, kecuali menjaganya. Ketika maghrib tiba, dan orang-orang melakukan sembahyang, si nenek masih saja memunguti dedaunan.
”Siapa dia?” bisik salah seorang jemaah kepada temannya, ketika mereka meninggalkan masjid. Tentu saja tak ada jawaban, selain ”entah”.
”Nek, istirahatlah… ini sudah malam.”
”Kalau bapak mau pulang, silakan saja… biarkan saya di sini dan melakukan ini semua.”
”Nek, mengapa nenek menyiksa diri seperti ini?”
”Tidak. Saya tidak menyiksa diri. Ini… mungkin bahkan belum cukup untuk sebuah ampunan,” ucapnya sambil menghapus air matanya.
Haji Brahim terdiam. Mencoba mereka-reka apa yang telah diperbuat si nenek di masa lalunya.
***

Malam itu, Haji Brahim pulang cukup larut karena merasa tak tega meninggalkan si nenek. Pengurus masjid yang semula akan menunggui, sepulang Haji Brahim, ternyata juga tak tahan. Bahkan, belum lagi lima menit Haji Brahim pergi, dia diam-diam pulang.
Tak ada yang tahu apakah si nenek tertidur atau terjaga malam itu. Begitu subuh tiba, Mijo yang akan azan Subuh mendapati si nenek masih saja melakukan gerakan yang sama. Udara begitu dingin. Beberapa kali si nenek terbatuk.
***

Peristiwa si nenek itu ternyata mengundang perhatian banyak orang. Mereka berdatangan ke masjid. Niat mereka mungkin ingin menyaksikan si nenek, tetapi begitu bertepatan waktu shalat masuk, mereka melakukan shalat berjemaah. Tanpa mereka sadari sepenuhnya, masjid itu jadi semarak. Orang datang berduyun-duyun, membawa makanan untuk si nenek, atau sekadar memberinya minum. Dan, semuanya selalu berjemaah di masjid.
Dua hari kemudian, tepat ketika kumandang waktu Ashar terdengar, si nenek tersungkur dan meninggal. Orang-orang terpekik, ada yang mencoba membawanya ke puskesmas, tetapi entah mengapa tak jadi.
Hari itu juga polisi datang. Karena semua orang tak tahu siapa keluarga si nenek, akhirnya diputuskan si nenek dimakamkan di halaman belakang masjid.

Ketika semua orang sibuk, Haji Brahim tercekat. Dia tiba-tiba merasa sunyi menyergapnya. Dia menyapu pandang, ada yang aneh di matanya. Dedaunan yang berserak itu lenyap. Halaman masjid bersih. Menghitam subur tanahnya, seperti disapu, dan daun yang gugur ditahan oleh jaring raksasa hingga tak mencapai tanah.
Sudut mata Haji Brahim membasah. ”Semoga kau temukan jalanmu, nek,” gumamnya.
Dan ketika semua orang, yang puluhan jumlahnya itu, secara bersamaan menemukan apa yang dipandang Haji Brahim, mereka ternganga. Bagaimana mungkin halaman masjid bisa sebersih seperti itu.
***

Lama setelah kisah itu sampai kepadaku, aku tercenung. Rupanya, menurut Haji Brahim kepadaku, nenek itu hadir mungkin sebagai contoh. ”Mungkin juga dia memang berdosa besar—sesuai pengakuannya kepada saya,” ucap Haji Brahim kepadaku beberapa waktu lalu. ”Dan… dia melakukan semacam istigfar dengan mengumpulkan sebanyak mungkin daun yang ada di halaman, mungkin begitu… saya tak yakin. Yang jelas, mata kami jadi terbuka. Sekarang masjid kami cukup ramai.”
”Pasti banyak yang mau menyapu halaman,” godaku.
”Iya… ha-ha-ha… benar.”
”Memangnya bisa begitu, Ji?”
”Maksudnya, ampunan Allah? Ya, saya yakin bisa saja. Allah maha-berkehendak, apa pun jika Dia berkenan, masak tidak dikabulkan?” ucap Haji Brahim tenang.
Aku terdiam. Kubayangkan dedaunan itu, yang jumlahnya mungkin ribuan helai itu, melayang ke hadirat Allah, membawa goresan permohonan ampun.
***

Pembaca yang budiman,
Setelah Anda membaca cerpen itu, isilah kolom komentar dengan kesan dan pesan Anda terhadap tema yang dikedepankan pengarang melalui cerpen tersebut.Selamat, semoga bermanfaat.
_____
*) http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/10/02/salawat-dedaunan/

14 komentar:

  1. Setelah membaca cerpen yang berjudul salawat dedaunan kesan yang saya rasakan adalah sebuah pengalaman spiritual seseorang, yang secara tidak langsung menyampaikan pesan yang sangat bermanfaat sehingga mampu menggetarkan hati dan merespon keimanan setiap pembaca untuk bertanya “sudahkah saya melakukan amalan yang mampu menghapus setiap dosa?. Patut menjadi bahan renungan.
    Nilai spiritual yang diangkat pada cerpen ini mampu memberi banyak nilai positif dengan dihubungkanya pada kondisi moral manusia saat ini, “Salawat dedaunan, seolah mengartikan bahwa, daun-daun pun bersolawat untuk mereka yang mengharap ampunan dari TuhanNya. Semoga kita termasuk diantara mereka yang mendapat pengampunan dan ridhaNya. Amin ya rabb

    Dalilatu Safitri
    Pbs. Indonesia
    41012121101084
    C 4

    BalasHapus
  2. Cerpen “Salawat Dedaunan” meninggalkan kesan yang menyentuh jiwa, mengingatkan saya pada kehidupan yang tak abadi, dan membuat saya termenung mengingat dosa.
    Pesan kuat dari cerpen tersebut yaitu manfaatkan dan pelihara mesjid tempat kita beribadah, infakkan sebagian harta yang kita punya, selalu beribadah dan beristigfar untuk membersihkan hati, mintalah pengampunan kepada Allah SWT dengan kesungguhan hati. Dekatkan hati kita kepada Allah SWT, manfaatkan hidup ini sebaik mungkin karena kehidupan tak akan abadi, semoga kita mendapat pengampunan dari Allah SWT, dan jika nanti kita menghadap-Nya berada di tempat terindah-Nya, syurga Allah SWT, amin.

    Nama :Putri Dwi Zuwita
    NIM :41032121101104
    Kelas :C.IV
    Jurusan :PBS. Indonesia

    BalasHapus
  3. setelah saya membaca cerpen salawat dedaunan ini menimbulkan pesan bahwa kita sebagai umat nabi muhammad saw harus tetap menjaga dan memakmurkan mesjid, supaya mesjid tempat beribadah selalu dalam keadaan bersih dan suci. serta berdoa dan bertaubatlah dengan sunggug-sungguh dan hati yang ikhlas, supaya tuhan dapat mengampuni dosa-dosa yang sudah diperbuat.
    sedangkan kesan dalam cerpen ini adalah, sebagai manusia kita pasti mempunyai doas, manusia tidak ada yang sempurna dimata allah. bersungguh-sungguhlah dalam melakukan perbuatan yang baik. apalagi memohon amp
    unan kapada Tuhan yang Maha Kuasa.

    Siti Widiyawati
    41032121101085
    PBS. Indonesia
    C4

    BalasHapus
  4. Cepen yang sangat Super!!
    Betul yang dikatakan Haji Brahim dalam cerpen Salawat Dedaunan ini "nenek itu hadir mungkin sebagai contoh", contoh untuk hamba Alloh yang senantiasa mengingatkan kita agar segera meminta ampunan kepada sang Khalik sebelum ajal datang menjemput.
    Jika ribuan helai yang dipungut si snenek untuk sebuah ampunan, maka berapa juta helai yang harus saya pungut untuk sebuah ampunan dosa yang sangat besar :__( Astaghfirullohal'adziim..

    Silmia Arofah
    41032121101096
    C-4

    BalasHapus
  5. ketika saya membaca cerpen yang berjudul "salawat dedaunan" membuat ku terharu dan membuat terkesan bahwa kita sebagai umat muslim jangan sampai menelantarkan masjid. kita harus merawat tempat ibadah kita jangan sampai kotor. dan apapun perbuatan kita yang bernilai baik pasti orang-orang akan selalu mengingat.


    eneng riska rosdianti
    41032121101130

    BalasHapus
  6. setelah membaca naskah solawat dedaunan , saya dapat memetik beberapa pesan didalamnya yang bermanfaat bagi kehidupan saya , antara lain :
    - perbanyaklah bersalawat dan bertasbih untuk memohon atas dosa-dosa kita.
    -perbanyaklah bersedekah terhadap parkir miskin , yatim piatu dan bagi orang yang membutuhkan.
    - perbanyaklah berinfak untuk pembangunan dan pemeliharaan mesjid

    desi rahayu
    41032121101129
    pbs.indonesia/c4

    BalasHapus
  7. yang dapat diambil dari cerita di atas adalah:
    - kesungguhan taubat si Nenek yang bisa memberi manfaat untuk kita semua.

    adakah yang lebih melelahkan dari menanggung dosa?
    pertanyaan yang tidak memerlukan jawabannya, karena semua orang sudah tahu jawabannya...(tidak ada)

    manusia tidak bisa lepas dari dosa, karena itu minimalisirlah diri kita untuk tidak melakukan banyak salah.
    dan jika sudah melakukan banyak salah, maka bertaubatlah dengan sesungguhnya taubat...

    Siti Humairoh
    41032121101124
    C4
    PBS. Indonesia

    BalasHapus
  8. Dosa adalah perbuatan yang nanti diperhitungkan di akhirat selain amalan lainnya. Kita berusaha untuk mendapatkan ampunan-Nya dengan memperbanyak istigfar dan solawat yang mungkin dapat memperingan siksaan di akhirat nanti, seperti yang di gambarkan di dalam kisah ini yaitu seorang nenek yang berusaha untuk mendapatkan ampunan walaupun dengan hal yang sangat sederhana, mungkin dengan jalan seperti itu dapat memperingan beban dosa dia dan dedaunan itu yang akan menjadi saksi di akhirat nanti.
    Dan kita harus dapat menyikapinya yaitu kita harus selalu berusaha memperbanyak amalan-amalan untuk medapatkan pahala dengan sedikit demi sedikit dan apabila kita berbuat dosa karena manusia itu tidak ada yang sempurna karena kesempurnaan itu hanyalah milik Allah SWT, kita harus bertaubat dengan taubatan nasuha, dan setiap amalan kita janganlah mengharapkan imbalan dari orang lain tetapi dengan keikhlasan dan mengharapkan keridhoan Allah SWT. Dan memang benar tidak ada yang melelahkan selain menanggung beban dosa kita karena rasa lelah itu dapat hilang dengan beristirahat sedangkan dosa tidak dapat dihapuskan kecuali dengan kehendak-Nya. Maka perbanyaklah istigfar dan solawat di setiap waktu kita yang hanya sementara ini.

    Sisca Gustiati P.
    41032121102007 - C4
    PBS. Indonesia

    BalasHapus
  9. setelah saya menghayati cerpen salawat dedaunan, sangat mengharukan sekali dan menambah motivasi saya untuk selalu berusaha mendekatkan diri pada sang pencipta, sebagaimana yang dialami nenek itu, dia selalu memohon ampunan dengan cara bersalawat yang setiap salawatnya dibarengi dengan mengambil dedaunan yang seolah daun itu akan jadi saksi kelak di akhirat nanti sebagaiman yang digumankan oleh H Brahim yang membayangkan sejumlah helai daun itu melayang ke hadirat Allah membawa goresan permohonan ampun.
    nenek itu bersalawat sampai menemui ajalnya berarti janganlah kita berhenti untuk memohon ampunan sampai nafas terakhir tak peduli halangan apapun walau keadaan sakit sekalipun permohonan itu senantiasa harus terus membasahi bibir baik dengan istighfar ataupun bersalawat.
    apalagi sebagai manusia tempat lupa dan salah, maka dengan itulah jangan pernah berhenti untuk selalu memohon ampunan-Nya. seperti yang dilkukan nenek dengan bersalawat agar mendapatkan safaat dari N Muhmmad SAW, karena kalau dengan mengandalkan ibadah kita amatlah minim tuk dapat dijadikan andalan untuk kita menghadap sang pencipta.

    Syarif Ridwan
    410321101049 – C 4
    PBS Indonesia

    BalasHapus
  10. Cerpen salawat dedaunan memiliki kesan yang menyentuh dan memberi manfaat positif untuk setiap siapapun yang membacanya, setiap manusia yang beriman pasti merasakan banyaknya dosa dan berharap Allah akan mengampuni setiap dosa-dosanya, amalan apapun akan dilakukan untuk mendapatkan pengampunaNya apalagi dengan hanya melakukan perebuatan sederhana seperti memungut dedaunan. Semoga kita mendapatkan ridho dan ampunanya. Amin

    Titin Suryatin
    41032121101090
    C 4

    BalasHapus
  11. Dengan membaca kisah ini, memberikan gambaran bahwa kita sebagai umat manusia yang tidak luput dari dosa harus selalu senantiasa berusaha untuk mengharapkan ampunan-Nya, dengan beristigfar dan bersolawat. Selama kita hidup berusahalah mencari keridhoan dari-Nya, dan senantiasa berusha memelihara keimanan kita, sampai ajalpun kita harus selalu mengingat-Nya. Semoga kita semua mendapatkan keridhoan-Nya dan ampunan-Nya. Amin

    BalasHapus
  12. Cerpen “Salawat Dedaunan” dikemas dalam alur yang sederhana dan bahasa yang mudah dicerna. Bentuk dan gaya, atau cara penceritaannya memiliki kecenderungan yang sama dengan cerpen terbaik Kompas sebelumnya yakni “Dodolitdodolitdodolibret” karya Seno Gumira Ajidarma. Keduanya bersifat mistik dan berakhir supranatural atau surealistik.
    Kritik sosial dalam cerpen ini tersampaikan dengan apik. Keapikkannya lolos menyindir setiap pembaca cerpen ini. Walaupun penceritaannya terasa ringan dan renyah serta sederhana, cerpen ini menuntut pengimajinasian yang cukup tinggi karena sifatnya yang mistik atau surealistik tersebut.

    BalasHapus
  13. setelah saya membaca cerpen Salawat Dedaunan ini, banyak sekali nilai yang diambil diantaranya nilai religi, dedaktis, yang banyak mengajak kita untuk selalu memohon ampun dari segala kesalahan. seperti yang digambarkan si nenek yang ada didalam cerpen ini memungut daun yang berserakan yang diibaratkan sebagai dosa yang takkan pernah habis. tetapi itu hanya anggapan kita. tetapi bila Allah berkehendak, dosa sebesar apapun akan diampuni.
    terima kasih mudah-mudahan bermanfaat.


    Herdi
    41032121101005
    C-4

    BalasHapus
  14. Setelah membaca cerpen yang berjudul salawat dedaunan kesan yang saya rasakan adalah sebuah pengalaman spiritual seseorang, yang secara tidak langsung menyampaikan pesan yang sangat bermanfaat sehingga mampu menggetarkan hati dan merespon keimanan kita. Dikisahkan bahwa manfaatkan dan pelihara mesjid tempat kita beribadah, infakkan sebagian harta yang kita punya, selalu beribadah dan beristigfar untuk membersihkan hati, bersholawatlah kita kepada kanjeng nabi Muhammad SAW, tidak hanya manusia daunpun ikut bersholawat. Niscaya kita akan diberi rahmat dalam pengampunan dosa untuk mencapai surga,,,, Amin

    Entin Suartini
    NIM.41032121101004

    BalasHapus