Jumat, 24 Februari 2012

JURNAL ILMIAH MENGUBAH BUDAYA TUTUR KE TULIS *)


TEMPO.CO, Jakarta-Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Djoko Santoso mengatakan jurnal ilmiah mengubah Bangsa Indonesia dari bangsa bertutur menjadi bangsa yang menulis.  "Ini urusan besar, kami harus ubah budaya tutur menjadi menulis," kata Djoko kepada Tempo di gedung D Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamis, 23 Februari 2012.

Menurut Djoko, harus ada yang berani memberlakukannya. "Saya sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi berani, kan untuk kemajuan bangsa," tuturnya. Kata dia, bangsa yang pintar adalah bangsa yang memiliki karya ilmiah dalam jumlah besar.

Djoko menyatakan, bangsa harus melahirkan orang-orang yang pintar menulis bukan pintar berbicara, karena kalau menulis tidak perlu berbicara sana-sini, tapi hanya menunjukkan bukti jurnal cetak atau online. "Yang bikin karya ilmiah kan orang-orang pintar. Kalau bangsa yang banyak orang pintar akan terlihat kemajuan bangsanya," katanya.

Budaya menulis juga untuk mendorong agar tidak ada lagi orang yang melakukan plagiarisme. "Ilmunya juga akan berkembang, tidak menjiplak hasil karya orang lain," ujarnya. Kata Djoko, syarat kelulusan itu yang memutuskan rektor. "Saya meminta supaya jurnal ilmiah dijadikan syarat kelulusan." Kalau ada Perguruan Tinggi yang tidak memberlakukan tidak masalah. "Nanti yang menilai masyarakat, yang lulus dengan jurnal ilmiah pasti lebih baik," katanya.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi memuat surat edaran pada 27 Januari lalu, yang berisikan, lulusan program sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah. Lulusan program magister harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi Dirjen Pendidikan Tinggi. Lulusan program doktor harus menghasilkan makalah dan diterima untuk terbit pada jurnal internasional. Publikasi karya ilmiah dalam jurnal ilmiah akan diberlakukan pada Agustus mendatang.
_____
*) Afrilia Suryanis dalam http://www.tempo.co/read/news/2012/02/23/ 079386041/Jurnal-IlmiahMengubah-Budaya-Tutur-ke-Tulis).

8 komentar:

  1. Terima kasih Bunda atas informasinya melalui tulisan ini....

    Semoga kita semua dapat menumbuh-kembangkan budaya tulis di berbagai lapisan tingkat pendidikan dan masyarakat. Seperti yang telah dikatakan oleh Bapak Djoko Santoso bahwa tidak mudah juga untuk mengubah budaya tutur menuju budaya tulis. Kehidupan yang modern dan budaya instan saat ini telah melahirkan juga pola pikir instan pada sebagian masyarakat termauk orang yang berada di lembaga pendidikan. Pola pikir instan inilah yang menyuburkan pagiarisme. Contohnya, asal tugas selesai dan dapat poin nilai maka sebagaian mahasiswa copy paste saja.Ya, tinggal rubah sedikitlah. Cara lain yaitu membuat tulisan gado-gado, ambi sana-sini dari hasil browsing di internet digabungkan jadi satu tulisan dan diakui sebagai hasil tulisan pribadi.Dua hal tersebut sangat banya ditemui di dunia pendidikan.

    Lalu, apa solusinya? Untuk menuju budaya tulis dalam masyrakat terutama dalam dunia akademisi yang harus dilakukan menumbuhkan motivasi menulis dan terus berlatih menulis (namanya keterampilan takan pernah bisa bila tidak dilatih). Kita bukan tidak mampu tapi pola pikir instant tersebut telah membuat kita malas. Baik malas berpikir, malas membaca, malas mendengar, dan malas menulis!
    Namun, di tengah maraknya himbauan untuk menulis kita pun jangan terhanyut denga euforia tersebut. Perlu kita ingat bahwa menulis itu adalah keterampilan berbahasa. Menulis harus didukung oleh keterampilan berbahasa lainnya seperti membaca, menyimak, dan berbicara. Membaca dan menyimak merupkan dua hal utama yang harus dilakukan sebelum menulis karena dengan dua hal tersebut kita akan memiliki referensi konsep,ilmu dan kosakata yang memudahkan untuk menulis. Dan mari kita mulai dari yang sederhana.

    Selain menumbuhkan motivasi individu untuk menulis, semua pihak dalam dunia pendidikan pun harus saling mendukung dalam rangka mewujudkan budaya tulis di negeri ini. Ada pengalaman berharga yang saya dapat dari negeri Jiran Malaysia. Pada Juli 2011 lalu saya sempat tinggal satu bulan di sana. Di Malaysia bahasa melayu sebagai bahasa Nasional juga terancam kedudukannya karena sebagian besar masyrakat malaysia berkomunikasi dengan multibahasa terutama bahasa Inggris. Namun pemerintah Kerajaan mendukung kuat Dewan Bahasa dan Dewan Sastranya untuk rutin menerbitkan jurnal dan majalah setiap bulan. Buku-buku tentang bahasa dan sastra karya anak negerinyapun diterbitkan dan dijual di dewan Bahasa. Yang saya ajungi jempol untuk negeri jiran ini , pemerintah kerajaan juga menyediakan "pojok penulis" berupa ruangan yang bisa dipakai siapa saja di salah satu bagian Gedung Kebudayaan dan Keseniannya. Di pojok penulis juga pemerintah mefasilitasi pelatihan-pelatihan menulis. Bagi sastrawan yang menulis secara konsisten akan digaji oleh kerajaan dan diberi gelar Sastrawan Negara. Kita harusnya dapat berkaca Malaysia begitu mendukung budaya tulis dan menghargainya padahal mereka kekurangan SDM.

    Di balik keterbatasan yang ada dalam diri pribadi, pemerintah ataupun negeri ini kita harus tetap berjuang dan selalu memotivasi diri untuk terus menulis. Ada kata-kata dari Bapak Darmawan Soegandar yang sangat berkesan bagi saya yaitu:
    Bepikirlah, maka aku hidup!
    Berbicaralah, maka aku dinamis!
    Menulislah, maka aku abadi!

    semangat selalu untuk semua...mari mulai dari yang sederhana dan tuluslah melakukannya....:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bagus Yessy, Anda berani mengungkap fakta. Bunda senang karena tulisan itu menawarkan beberapa solusi antara lain dengan mengangkat hasil pengamatan selama Anda berada di negara tetangga, Malaysia. Tertarik dengan hasil pengamatan Anda itu, Bunda pun meneruskannya melalui komentar yang ditulis di http://edukasi.kompas.com/read/2012/02/27/20183555/Kewajiban. Publikasi.Ilmiah. Tidak.Ada.Sanksi.

      Agar karya Anda semakin berbobot, sebaiknya editlah kesalahan pengetikan dan kesalahan ejaan yang masih ada.

      Bersemangat ya!!!

      Hapus
    2. Alhamdulillah, selamat Yessy! Anda sudah berupaya memenuhi himbauan Bunda. Kini hasilnya jauh lebih baik. Andai teman-teman Anda sempat membacanya, Bunda yakin mereka pun akan tertantang untung menulis ulasan komentar atau apa pun namanya di forum ini. Setidaknya untuk berlatih menulis sambil menunjukkan potensi diri.

      Ayooo, bersemangat!!!. Mana yang lainnya? Pandangan Bapak Darmawan yang dikedepankan oleh Yessy dalam komentarnya, seharusnya dapat menjadi cambuk bagi kita untuk menghasilkan sesuatu yang monumental. Antara lain beliau mengatakan, "Menulislah, maka aku abadi!".

      Hapus
    3. terima kasih apresiasinya bunda @isna :)

      Hapus
  2. menulislah, maka aku abadi!"
    indahnya kata-kata itu untuk memulai agar kita terbiasa menulis,syarat lain umtuk memudahkan kita dalam menulis rajin membaca dan menyimaklah dengan baik, samua itu sangat berkaitan dan memudahkan kita dalam berkosakata.Jadikanlah menulis sebagai budaya yang harus kita kembangkan dan kita banggakan.

    BalasHapus
  3. Bunda doakan semoga Saidah Kamilah akan "abadi"
    karena Anda sudah berupaya menulis. Akan lebih baik lagi jika Anda membiasakan diri melakukan swasunting terhadap semua tulisan yang akan dipublikasikan. Bersemangat ya!

    Bagaimana dengan mahasiswa Bunda yang lainnya?
    Mari menulis. Buktikanlah bahwa Anda mampu menulis
    dan siap bersaing dengan teman-teman sejagat.

    Mari bangkit bersama.
    Insya-Allah Anda pun mampu menggapai asa.

    BalasHapus


  4. Sama-sama Ui,semoga bermanfaat.
    Ibu juga berterima kasih atas apresiasi Anda.

    BalasHapus